Kamis, 23 Juli 2009

Sebuah Esensi Kejiwaan

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang yang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat, dan mereka (orang-orang kafir)pun akan melihat, siapakah diantara kalian yang gila.” (QS. Al-Qalam: 1-6)


Pada dasarnya jiwa manusia bersifat negatif dan buruk. Dominasi keburukan jiwa tersebut adalah Inkonsistensi dan ketamakan. Sikap inkonsistensi jiwa berasal dari kebodohan dan ketamakannya berasal dari hasrat yang membara. Sebagaimana diketahui bahwa Manusia diciptakan dalam keadaan zalim dan bodoh. Disinilah keberadaan akal pada diri manusia mampu mengubah sifat buruk jiwa dan membuatnya konsisten (istiqomah) dalam kebaikan dan kecukupan (qona’ah) dalam menjalani hidup.

Akal mempunyai peranan yang sangat penting. Akal yang merupakan potensi tertinggi yang dikaruniakan Allah SWT kepada manusia, dimana dengan kekuatan akal, manusia memiliki daya pikir atau nalar yang tujuannya untuk mengetahui, memahami, memecahkan persoalan, bertindak dan lain sebagainya.

Firman AllahSWT (yang artinya):

“Pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkannya dengan air hujan itu bumi sesudah kematiannya, dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berakal.” (QS. Al-Zatsiyah: 5).

Lihatlah ketika Al-Qur’an menjelaskan tentang peranan akal pada ayat ini, diawali dengan uraian fenomena saintifik, seperti pergantian siang dan malam; kondisi sebelum dan sesudah air hujan turun dari langit; tumbuhan yang mati lalu hidup kembali akibat turunnya hujan dan terakhir tentang kisaran angin. Semua itu menunjukkan adanya siklus kehidupan dan daya keterikatan antara satu peristiwa dan peristiwa lainnya, yang hanya dapat dimengerti dengan akal.

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman (yang artinya):

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya, sebagai rahmat daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah: 13)

Dengan akal manusia dapat membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk. Dengan akal manusia dapat mengetahui sebab-sebab didapatkannya hal-hal baik atau sebaliknya mengetahui penyebab diperolehnya hal-hal buruk dan dengan akal juga lah yang membedakan antara manusia dan hewan. Oleh karena itu hendaknya manusia selalu memanfaatkan akalnya untuk berfikir. Berfikirlah tentang segala hal, berfikirlah tentang ciptaan Allah SWT dan jangan berfikir tentang Zat Allah SWT.

Ibn ‘Abbas r.a berkata, “Suatu kaum memikirkan Allah SWT. Rasulullah lantas bersabda, ‘Pikirkanlah ciptaan Allah, jangan berpikir tentang Zat Allah, karena kalian tidak akan pernah sanggup memikirkannya.’”

Asy-Syafi’i r.a pernah mengatakan: “Pandangan yang baik terhadap berbagai hal adalah keselamatan dari tipuan. Keteguhan dalam pendapat adalah keselamatan dari kelalaian dan penyesalan. Menimbang dan berpikir menyingkapkan keteguhan hati dan kekuatan dalam pandangan bersama orang-orang bijak meneguhkan dalam diri dan merupakan kekuatan dalam pandangan. Oleh karena itu, berpikirlah sebelum ber-azam (berniat untuk melakukan sesuatu). Lakukan kajian secara mendalam sebelum menyerang dan bermusyawarahlah sebelum maju.”

Firman Allah (yang artinya):

“Sesungguhnya segala sesuatu itu ada sebab musababnya.” (QS. Al-Kahfi: 85)

Lihatlah, bahwa segala sesuatu pasti ada sebab musababnya, maka hendaknya seseorang yang waras itu menggunakan akalnya dan selalu memperhatikan sebab yang menimbulkan akibat. Seseorang yang meninggalkan sebab berarti tidaklah memfungsikan otaknya (walaupun dalam beberapa kasus Allah memberikan sesuatu pada seorang hamba tidak melalui sebab dan bahkan berlawanan dengan sebab). Seseorang disebut tidakwaras karena otaknya tidak berfungsi dan atau berfungsi namun tidak baik.

Para pakar muslim mengatakan bahwa sisi buruk manusia adalah ketidakwarasan. Dimana ketidak warasan ini dapat ditinjau dari dua faktor:
1). Ketidakwarasan yang disebabkan disfungsi otak secara fisik;
2). Ketidakwarasan yang disebabkan kebodohan.

Secara umum seseorang yang mengalami ketidakwarasan yang disebabkan disfungsi otak secara fisik disebut sebagai orang gila, padahal istilah ini kurang tepat, alasannya jika ketidakwarasan itu disebabkan oleh disfungsi kerja otak akibat trauma dikepala, faktor genetic atau faktor lainnya, maka ia tidak selayaknya disebut gila. Kerena memang fungsi otaknya sudah terdistorsi sedemikian rupa pada level biologis / jasmani. Artinya bahwa orang tersebut mengalami cacat secara fisik. Namun berhubung kecacatan tersebut terjadi pada organ fisik yang menjadi perantara untuk memfungsikan akal, maka akalnya pun ikut terdistorsi. Hal ini menunjukkan bahwa gila pada level biologis bukan merupakan ketidakwarasan yang hakiki.

Adapun ketidakwarasan yang hakiki adalah gila yang disebabkan kebodohan. Kebodohan sangat identik dengan ketidakwarasan. Mengapa demikian ? tanpa adanya pengetahuan / ilmu maka seseorang tanpa disadari akan melakukan perbuatan-perbuatan zalim yang sesungguhnya membinasakan dan menimbulkan kerusakan di muka bumi dan celakanya orang tersebut mengira bahwa apa yang diperbuatnya adalah suatu kebaikan. Selain itu, bukankah ibadah yang bersumber dari kebodohan akan menjadi sumber pelecehan kepada Allah SWT ? Ibadah yang seperti ini hanya akan bermuara pada kesengsaraan.

Sebagai contoh mudah kegilaan hakiki adalah: Seseorang yang mau mengkomsumsi narkoba. Disini bukan merujuk pada akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh narkoba, seperti depresi, ketergantungan, madat, kematian dan sebagainya. Akan tetapi kegilaan itu sudah terjadi pada saat orang tersebut secara sadar mau mengkomsumsi narkoba untuk pertama kalinya. Artinya sewaktu dirinya mau mengkomsumsi narkoba untuk pertama kali secara sadar dan atas pilihannya sendiri, maka itulah yang disebut kegilaan hakiki. Dia mempunyai otak namun dia tidak memfungsikannya dan akalnya tidak berfungsi.

Allah berfirman (yang artinya):

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahanmu sendiri.” (QS. An-Nisa: 79)

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri” (QS. Yunus: 44)

Al-Qur’an mengajari kita bahwa terdapat 3 (tiga) tingkatan jiwa manusia, yaitu:
1) Jiwa mutmainnah (yang tenang) inilah spektrum jiwa manusia pada tingkatan paling tinggi;
2) Jiwa lawwamah (yang menyesali) inilah spektrum jiwa manusia pada tingkatan netral; dan
3) Jiwa amarah biss su’ (yang buruk) inilah spektrum jiwa manusia pada tingkatan rendah.

Dalam keterkaitannya, tingkatan jiwa dengan kebodohan adalah: bahwa kebodohan selalu menyeret manusia kepada spektrum jiwa yang lebih rendah, jiwa seseorang yang fitri (netral) akan turun ke derajat jiwa yang rendah mungkin sampai pada derajat binatang seperti kera, anjing, babi dan sebagainya. Tidak hanya itu kebodohan bahkan dapat menimbulkan kematian jiwa.

Pada saat terjadi penurunan jiwa ketingkat yang lebih rendah, maka ia akan menjadi teman-teman setan. Manusia berjiwa rendah akan mendatangi sumber mata air setan. Mereka akan menjadi hambanya dan dipergunakan untuk menyesatkan manusia lain. setan akan mengilhaminya dengan ilmu pencapaian kepada harta, kekuasaan dan eksploitasi manusia agar terjadi kerusakan di bumi dan jiwa-jiwa manusia lainnya.

Ali bin Abi Thalib r.a berkata: "mereka telah memenuhi seruan setan, maka merekapun menempuh jalannya dan mendatangi sumber airnya. Dengan merekalah panji-panji setan tersebar, dan dengan mereka pula berdiri tegak benderanya. Fitnah (bujukan) setan telah membinasakan mereka."

Wahai diri… apa yang akan engkau lakukan setelah mengetahui ini ? apakah engkau akan mengisi kebodohan dan menggantinya dengan tinta pengetahuan ? ataukah engkau akan berdiam diri dan menyerah kepada takdir ? ketahuilah, jika engkau menyerah dan menggantungkan nasibmu kepada takdir maka sesungguhnya engkau sedang mengalami kegilaan.

Ali bin Abi Thalib r.a berkata: “Janganlah sekali-kali engkau bergantung pada takdir karena hal itu merupakan komoditas orang dungu dan kebodohan tentang akherat dan dunia.”

Adapun orang yang paling waras adalah orang yang berakal, berpendapat, beranggapan baik serta kiasnya sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

Lalu,,,, waraskah aku ??????

Yaa Rabbku…. Hamba memohon kepada Engkau ampunan-Mu dan berikanlah kepada kami ilmu yang manfaat, Amin.



Daftar bacaan:
- Amru Khalid, Hati Sebening Mata Air. Diterjemahkan oleh Imam Mukhtar Aqwam, 2006.
- Astrid Darmawan & Muhammad Hidayat, Al-Qur’an The Ultimate Secret, Ufuk, 2008.
- Imam Al-Ghazali, Menyingkap hati Menghampiri Ilahi. Diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan, Pustaka Hidayah, 2006.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar